Thursday, January 9, 2014

Gugatan Bambang Pamungkas dan Lagu Lama Sepak Bola Indonesia

Selasa, 4 Desember 2012, “awan hitam” menggelayuti ranah sepak bola Indonesia. Kabar duka itu datang dari Diego Mendeita, pesepakbola asing berkebangsaan Uruguay. Pemain sepak bola berusia 32 tahun itu meninggal setelah lama sakit di RS Moewardi, Solo.

Tragisnya, Diego dikabarkan meninggal dalam keadaan miskin. Ia bangkrut sehingga tidak mampu membayar biaya pengobatannya. Tak ada yang ditinggalkan Diego kecuali secarik kertas bertuliskan kerinduannya untuk pulang, bertemu dengan anak dan isteri tercintanya.
Tragisnya nasib Diego bukan tanpa sebab. Klub tempatnya bernaung, Persis Solo, yang bermain di bawah kendali PT Liga Indonesia (kala itu), dikabarkan telah menunggak gaji Diego selama empat bulan terakhir. Jerih payahnya yang -konon- bernilai seratus juta rupiah tidak sempat dinikmatinya hingga ajal menjemputnya.

Kematian Diego jelas menampar telak wajah sepak bola Indonesia. Kisah tragis yang mengiringi kematian Diego adalah gambaran dari betapa bobroknya klub-klub sepak bola di Indonesia. Sekaligus, kematian Diego, membuka mata kita terhadap penyakit “gagal bayar” klub-klub Indonesia. Uniknya, klub-klub itu berlabel profesional, bukan lagi amatir.

Hampir setahun pasca kematian Diego, penyakit “gagal bayar” klub-klub Indonesia tidak jua kunjung sembuh. Ia bak kanker yang telah menahun, menjalar, dan menggerogoti setiap sendi persepakbolaan Indonesia. Kematian Diego tidak juga menjadi pelajaran berharga bagi klub-klub Indonesia akan pentingnya arti kata “profesionalisme”.

Buktinya, baru-baru ini pesepakbola Nasional, Bambang Pamungkas, melancarkan gugatan perdata terhadap klubnya, Persija Jakarta. Lagu lama yang usang bertajuk “gagal bayar” kembali diputar dan menjadi latar belakangnya. Tidak tanggung, BePe, panggilan akrabnya, menggugat nominal sebesar 7 miliar terhadap klub yang membesarkan namanya itu.

BePe mungkin telah jenuh. Baginya, gugatan terhadap hak-haknya secara perdata adalah upaya terakhirnya dari sekian upaya yang telah ditempuhnya. Sebelumnya, BePe memilih untuk rehat dari hiruk-pikuk dunia persepakbolaan Indonesia sembari menunggu persoalan gajinya usai.

Dikutip dari Tribunnews.com, Senin (25/12/2013), BePe mengungkapkan alasannya menggugat Persija. Ia ingin memberikan kesadaran kepada pemain dan manajemen terkait pentingnya hak dan kewajiban masing-masing. Gugatan BePe semata demi kepentingan kemajuan sepak bola Indonesia di masa depan.

BePe benar! Gugatannya memang perlu demi menggarisbawahi kembali arti kata “profesionalisme”. Dalam aturan AFC tertuang aturan bagi klub profesional. Dari mampu membina pemain muda, memiliki infra struktur yang memadai hingga mempunyai kemampuan finansial. (Lihat Tempo.com, Selasa,4/12/2012).

Khusus merujuk kriteria yang terakhir, maka agaknya sedikit klub-klub Indonesia yang mempunyai kemampuan finansial yang mandiri. Bukan rahasia lagi jika selama ini klub-klub Indonesia terlalu terlena hingga “dinina bobokan” oleh dana APBD.

Sebagai pengagum BePe dan pecinta sepak bola Nasional, saya mendukung langkah yang ditempuh oleh BePe. Sebagaimana yang ditegaskan oleh BePe, bahwa semua itu demi kemajuan sepak bola Nasional. Agar tiada lagi “lagu lama” yang berakhir tragis layaknya Diego Mendieta.
Gitu aja koq repot!
Salam pentungan.
Ditulis sebagai tanggapan atas gugatan sebesar 7 miliar seorang BePe terhadap Persija Jakarta.

No comments:

Post a Comment