Selasa, 4 Desember 2012, “awan hitam” menggelayuti ranah sepak
bola Indonesia. Kabar duka itu datang dari Diego Mendeita, pesepakbola
asing berkebangsaan Uruguay. Pemain sepak bola berusia 32 tahun itu
meninggal setelah lama sakit di RS Moewardi, Solo.
Tragisnya, Diego dikabarkan meninggal dalam keadaan miskin. Ia bangkrut
sehingga tidak mampu membayar biaya pengobatannya. Tak ada yang
ditinggalkan Diego kecuali secarik kertas bertuliskan kerinduannya untuk
pulang, bertemu dengan anak dan isteri tercintanya.
Tragisnya nasib Diego bukan tanpa sebab. Klub tempatnya bernaung, Persis
Solo, yang bermain di bawah kendali PT Liga Indonesia (kala itu),
dikabarkan telah menunggak gaji Diego selama empat bulan terakhir. Jerih
payahnya yang -konon- bernilai seratus juta rupiah tidak sempat
dinikmatinya hingga ajal menjemputnya.
Kematian Diego jelas menampar telak wajah sepak bola Indonesia. Kisah
tragis yang mengiringi kematian Diego adalah gambaran dari betapa
bobroknya klub-klub sepak bola di Indonesia. Sekaligus, kematian Diego,
membuka mata kita terhadap penyakit “gagal bayar” klub-klub Indonesia.
Uniknya, klub-klub itu berlabel profesional, bukan lagi amatir.
Hampir setahun pasca kematian Diego, penyakit “gagal bayar” klub-klub
Indonesia tidak jua kunjung sembuh. Ia bak kanker yang telah menahun,
menjalar, dan menggerogoti setiap sendi persepakbolaan Indonesia.
Kematian Diego tidak juga menjadi pelajaran berharga bagi klub-klub
Indonesia akan pentingnya arti kata “profesionalisme”.
Buktinya, baru-baru ini pesepakbola Nasional, Bambang Pamungkas,
melancarkan gugatan perdata terhadap klubnya, Persija Jakarta. Lagu lama
yang usang bertajuk “gagal bayar” kembali diputar dan menjadi latar
belakangnya. Tidak tanggung, BePe, panggilan akrabnya, menggugat nominal
sebesar 7 miliar terhadap klub yang membesarkan namanya itu.
BePe mungkin telah jenuh. Baginya, gugatan terhadap hak-haknya secara
perdata adalah upaya terakhirnya dari sekian upaya yang telah
ditempuhnya. Sebelumnya, BePe memilih untuk rehat dari hiruk-pikuk dunia
persepakbolaan Indonesia sembari menunggu persoalan gajinya usai.
Dikutip dari Tribunnews.com, Senin (25/12/2013), BePe mengungkapkan
alasannya menggugat Persija. Ia ingin memberikan kesadaran kepada pemain
dan manajemen terkait pentingnya hak dan kewajiban masing-masing.
Gugatan BePe semata demi kepentingan kemajuan sepak bola Indonesia di
masa depan.
BePe benar! Gugatannya memang perlu demi menggarisbawahi kembali arti
kata “profesionalisme”. Dalam aturan AFC tertuang aturan bagi klub
profesional. Dari mampu membina pemain muda, memiliki infra struktur
yang memadai hingga mempunyai kemampuan finansial. (Lihat Tempo.com,
Selasa,4/12/2012).
Khusus merujuk kriteria yang terakhir, maka agaknya sedikit klub-klub
Indonesia yang mempunyai kemampuan finansial yang mandiri. Bukan rahasia
lagi jika selama ini klub-klub Indonesia terlalu terlena hingga “dinina
bobokan” oleh dana APBD.
Sebagai pengagum BePe dan pecinta sepak bola Nasional, saya mendukung
langkah yang ditempuh oleh BePe. Sebagaimana yang ditegaskan oleh BePe,
bahwa semua itu demi kemajuan sepak bola Nasional. Agar tiada lagi “lagu
lama” yang berakhir tragis layaknya Diego Mendieta.
Gitu aja koq repot!
Salam pentungan.
Ditulis sebagai tanggapan atas gugatan sebesar 7 miliar seorang BePe terhadap Persija Jakarta.
No comments:
Post a Comment