Di
sisi lain, Bepe juga mengevaluasi diri sendiri dan mengakui belum bisa
menyumbang prestasi yang berarti bagi tim nasional dalam bentuk gelar
juara. Seperti yang sering dikemukakannya dan akan terus dipegangnya,
dalam situasi seperti itu ia merasa sebagai generasi yang gagal. Namun,
tekadnya untuk menorehkan gelar bagi sepak bola negeri ini tidak
lekang, sekalipun saat ia gantung sepatu. Berikut wawancara
lanjutannya:
Anda pernah mengalami timnas di masa empat
kepengurusan PSSI, mulai Azwar Anas, Agum Gumelar, Nurdin Halid, dan
sekarang Djohar Arifin. Bagaimana Anda menilai kinerja mereka dalam
menangani timnas?
Seperti saya ceritakan di awal tadi, 10-15
tahun lalu saya begitu nyaman bermain di timnas karena saya tidak tahu
banyak. Yang ada di pikiran saya, bermain sebaik mungkin dan
berprestasi. Tetapi, seiring berjalannya waktu, saya banyak belajar,
banyak menilai, saya banyak melihat apa yang terjadi, saya lebih banyak
mengenal person to person pengurus PSSI, yang membuat saya merasa
lebih baik tidak tahu daripada tahu. Dan sebagai pemain senior,
tentunya saya menjadi tempat keluh kesah pemain-pemain yang bermasalah,
baik dengan pengurus tim nasional, dengan klub, dan sebagainya.
Kenyamanan
bermain itu menjadi kurang, seiring dengan berjalannya waktu. Karena
banyak hal yang harus saya kerjakan, banyak hal yang saya tahu sehingga
mengurangi respek saya pada orang-orang yang sebelumnya sangat saya
hargai. Tetapi, itu proses di mana proses pembelajaran bagi saya,
proses di mana pada akhirnya saya mentransformasi sebagai pemain, dari
pemain biasa menjadi orang yang menjadi tempat keluh kesah pemain dan
mencoba menyelesaikan itu. Ini proses dan perjalanan yang mau tidak mau
saya jalani.
Sejak kapan persisnya Anda tahu person per person pengurus PSSI sehingga Anda kehilangan respek pada sebagian pengurus PSSI?
Seiring
dengan berjalannya waktu, dengan begitu banyaknya permasalahan di
Indonesia, tentu kita bisa melihat secara kasat mata kita bisa melihat
setiap orang, setiap individu yang bekerja mengatasnamakan sepakbola
sebagai sebuah hal yang mereka cintai melakukan kebijakan. Kita bisa
melihat apakah kebijakan itu pure demi untuk kemajuan sepakbola atau tidak. Jadi, kurang lebihnya sejak 2007 (sejak Piala Asia).
Anda
sering mengatakan jadi generasi yang gagal karena tidak memberi
prestasi bagi timnas. Tidak menyesal mengakhiri karier sebagai generasi
yang gagal?
Lambat laun memang saya harus berhenti pada
akhirnya. Saya harus menanggalkan seragam kebesaran itu. Tetapi, saya
pernah mengatakan, ketika saya pada akhirnya gagal mempersembahkan gelar
buat Indonesia, maka saya akan berteriak, saya adalah generasi yang
gagal. Dan saya masih commit dengan hal itu.
Tetapi, pada
akhirnya saya berpikir bahwa mungkin sebagai pemain saya tidak bisa
memberikan sesuatu pada bangsa ini, tetapi mungkin sebagai pelatih saya
bisa mungkin memberikan sesuatu nanti. Karena proses itu akan berjalan,
ketika berhenti menjadi pemain sepakbola saya akan menjadi pelatih,
dan sebagainya. Artinya, masih banyak hal di mana saya bisa memberikan
sesuatu buat bangsa ini, tidak hanya sebatas sebagai pemain.
Tetapi,
saya tetap akan mengatakan itu ketika pada saat pensiun saya tidak
bisa memberikan gelar. Itu sebuah hal yang harus saya nyatakan, karena
memang faktanya demikian. Saya adalah pribadi yang selalu berusaha
jujur kepada masyarakat, selalu mencoba menceritakan salah ketika salah
dan benar ketika benar. Saya mencoba memberikan penilaian secara fair
terhadap apa pun, termasuk pada diri saya.
Anda sekarang sudah mempersiapkan diri menjadi pelatih?
Sejujurnya
saya sedang mulai untuk merintis, walaupun saya tidak tahu apakah akan
mengambil lisensi atau tidak. Tetapi sedikit banyak saya akan mencoba
untuk memulai dengan kursus awal. Kita lihat nanti, apakah saya akan
lanjut atau saya bergelut di bidang lain.
No comments:
Post a Comment